The Greatest Literary Works

literary works documentation. essay on literature. student paper. etc

Perlukah Faktualitas dalam Cerpen?

Written by eastern writer on Monday, April 21, 2008

Cerita pendek atau yang biasa disebut “cerpen” sebagai salah satu genre sastra memiliki keunikan tersendiri. Ia bisa menceritakan pengalaman penulis dan bisa juga hanya merupakan imajinasi entah-berantah yang sengaja direka oleh pengarang. Seperti karya sastra pada umumnya, batasan fakta dan fiksi dalam cerpen tidak jelas. Bahkan jika mengacu pada wacana postmodern, seperti kajian teks ala Roland Barthes (Baca: Merayakan Kematian Pengarang, Mission Impossible: Menggugat Missi Pengarang dalam Karya Sastra) fakta dalam karya sastra, tidaklah penting.

Tapi bagaimana jika cerpen itu menyajikan sesuatu yang faktual. Ia disusun dari fakta, peristiwa yang benar-benar disaksikan ataupun dialami langsung oleh pengarang. Seperti yang dikisahkan oleh Rosidi dalam bedah cerpen “Opera Zaman” di Komunitas Sendang Mulyo Semarang, Rabu (29/11) malam.

Eros, panggilan Rosidi, membeberkan latar belakang penciptaan cerpennya yang berjudul “Ngadikan”. Cerita dalam cerpen itu diakuinya benar-benar dialami penulis. Tokoh-tokoh dalam cerpen adalah tokoh yang sebenarnya. Tidak ada yang disamarkan. Dan tokoh saya dalam cerpen itu, juga mengacu pada saya pengarang.

“Saya sangat terkesan oleh Ngadikan yang memiliki semangat hidup yang luar biasa,” ucapnya bersemangat. Ngadikan adalah nama teman seprofesi Eros sebagai pembuat bata di tempat tinggalnya, di sebuah desa di Kudus.

Lalu apa perlunya pengarang menceritakan perihal latar belakang penciptaan karyanya, bahkan mengklaim bahwa cerita yang ditulis adalah benar-benar yang dialami?

“Inilah yang menjadi penyakit cerpenis kita. Pengarang kita itu malas. Termasuk si Rosidi ini. Wong pencetak boto ya di ceritak-ceritake,” kritik Eko Prasetyo Utomo. Prasetyo adalah cerpenis asal Semarang yang beberapa karyanya telah diterbitkan di beberapa media lokal dan nasional. Beberapa kumpulan cerpennya juga sudah dibukukan.

Menurut Prasetyo apa yang dilakukan oleh Rosidi tidak menarik, karena ia menceritakan sesuatu dengan apa adanya. “Cerpen yang baik itu, ketika membacanya akan membekas. Kita selalu teringat. Sayang di sini cerita disajikan secara linier” ungkap Prasetyo, setengah kecewa.

Selain itu Prasetyo juga menilai judul Opera Zaman yang dipakai dalam kumpulan cerpen (kumcer) itu kurang menarik. Menurutnya lebih menarik jika Opera Wadas dijadikan sebagai judul kumcer. Opera Wadas adalah salah satu judul cerpen dalam kumcer.

Saya yang waktu itu mengikuti diskusi, mengajukan ke salah seorang penulis dalam kumpulan cerpen Opera Zaman yang kebetulan hadir. Saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Prasetyo bahwa sebagian besar cerpen dalam kumpulan cerpen itu disampaikan secara konvensional. Terlebih mendengar pengakuan dari Eros yang mengatakan bahwa apa yang ditulisnya adalah fakta.

“Jika Roland Barthes mengatakan pengarang telah mati, maka anda di sini telah menghidupkannya. Dengan adanya pengakuan anda itu, telah mereduksi pemaknaan pembaca. Karya sastra yang harusnya memiliki makna yang universal telah terbelenggu oleh ruang dan waktu. Di luar pernyataan anda itu, cerpen anda tidak memiliki makna apa-apa” kritik saya.

Bagi saya tidak selayaknya penulis merecoki pemaknaan pembaca. Ketika ia selesai menulis, teks itu sudah sepenuhnya menjadi milik pembaca. Biarkan pembaca yang akan memaknai teks itu.

Meski sepakat dengan beberapa pandangan Prasetyo, namun saya menyampaikan bahwa dirinya terkesan memaksakan menilai karya-karya dalam kumpulan cerpen yang terlalu faktual menjadi tidak menarik. “Saya seorang guru, tapi saya tak menceritakan itu dalam cerpen saya” ucapnya.

Saya sepakat jika Prasetyo mengatakan itu untuk mendorong penulis lebih mengeksplorasi idenya tidak sebatas berhenti pada hal-hal yang faktual. Namun jika kemudian memberikan anjuran agar pengarang menulis di luar kesehariannya, ini jelas tidak tepat. Bukankah akan lebih baik jika kita menulis sesuatu yang paling dekat dengan kita, sesuatu yang kita alami. Bagaimana jika kita menulis tentang sesuatu yang kita sendiri tidak mengetahuinya?

Saya curiga Prasetyo menggunakan pendekatan yang berbeda dengan gaya yang dipakai oleh sebagian pengarang dalam kumcer itu yang sebagian besar menggunakan style realis. Sementara-mungkin- Praetyo kurang suka dengan gaya itu -bisa jadi ia menyukai karya surealis.

“Oke kalau anda mengatakan jika cerpen yang faktual itu tidak menarik, mengapa anda menanyakan kebenaran dari fakta yang disampaikan cerpen itu. Terus, kalau kemudian anda mengatakan penulis kurang mengeksplorasi, lantas eksplorasi semacam apa. Jika kemudian eksplorasi yang anda maksud itu kemudian mematikan gaya pengarang, yang realis itu kemudian beralih ke surealis, jelas ini sangat memaksakan”

“Saya tak bermaksud mematikan kreativitas penulis. Justru dengan ejekan ini saya harapkan penulis mau terus berproses,” jawab Praestyo.

Eksplorasi yang dimaksudkan oleh Prasetyo adalah perlunya penulis menggali sesuatu yang ingin disampaikan dari sudut pandang yang paling menarik. “Misalnya Eros mengeksplorasi lumpur itu. Ada apa dengan lumpur itu.. Ini bisa dieksplorasi lebih menarik, ketimbang menceritakan kisah tukang bata itu. Pram-Pramoedya Ananta Toer- juga penulis realis. Tapi eksplorasinya menarik,” terangnya.

Diskusi bedah buku kumpulan cerpen “Opera Zaman” itu diadakan oleh Komunitas Sendang Mulyo bekerja sama dengan Komunitas Merapi. Sebagai panitia pelaksana LPM Manunggal dan komunitas sastra Histeria. Hadir dalam diskusi itu Rosidi selaku salah seorang penulis, Eko Prasetyo Utomo selaku pembedah, Elissiti dan Gendhot Wukir yang mewakili editorial dan komunitas Merapi selaku penggagas kegiatan ini.

Cerita dalam kumcer Opera Zaman itu merupakan karya para anggota komunitas milis Merapi. Sebelumnya ada sekitar 200-an naskah, kemudian dipilih 10 terbaik. Cerpen ini menyajikan tema tentang petualangan. Buku ini dijual seharga Rp 20.000. Sedianya hasil penjualannya akan disumbangkan untuk pengembangan pendidikan anak.

This artcile was written by Muhamad Sulhanudin. Visit the writer's homepage at http://hanyaudin.blogspot.com

Related Posts by Categories



  1. 0 komentar: Responses to “ Perlukah Faktualitas dalam Cerpen? ”

Post a Comment

Thanks for your comment. I will reply your comment as soon as possible. I wonder if you would keep contact with this blog.

Quote on Art and Literature

    "There is only one school of literature - that of talent."
~ Vladimir Nabokov (1899 - 1977)



Want to subscribe?

Subscribe in a reader Or, subscribe via email:
Enter your email here:

Top Blogs Top Arts blogs

Google