The Greatest Literary Works

literary works documentation. essay on literature. student paper. etc

Modernisme (Nukilan Bilangan Fu)

Written by eastern writer on Sunday, July 20, 2008

Almari

Taruhan. Kau pasti enggan percaya jika kubilang padaku ada sebuah stoples selai berisi sepotong ruas kelingking. Kudapat dari menang bertaruh. Aku tidak gandrung pada benda itu: botol gelas berisi buku berkuku yang mengapung di air formalin. Pacarku Marja membencinya sampai ia pergi. Katanya, kaca tebal dan cembung membuat efek akuarium. Kelingking itu jadi tampak bagai seekor balakutak. Kukunya yang ungu adalah mata memar, memergokinya setiap kali dia melirik ke sana. Kubilang, kalau takut ya jangan kau menoleh kepadanya. Aku sendiri menikmati kelingking itu sebagai salah satu dari koleksi benda yang kudapat dari menang taruhan.

Pada dinding kamar kosku ada sebuah almari. Kupersembahkan untuk menampung kenang-kenangan, cenderamata menang taruhan. Isinya kebanyakan barang tak berharga. Kelingking itu, misalnya, tak ada gunanya bagiku. Di sebelahnya telah kutata pula sebilah iga manusia, melengkung bagai pedang, dengan satu pasak salib nisan terbuat dari granit hitam. Meski kasihku akhirnya pergi juga, sesungguhnya tiga benda itu sajalah yang membikin dia jeri. Sisa koleksi tidak membuat aku tampak seperti manusia gothik. Aku bukan karakter dari cerita Alfred Hithcock yang telah klasik. Aku hanya manusia yang mengabdi pada hobiku. Aku adalah seorang pemanjat dan petaruh. Begitu saja.

Ruas kelingking berkuku belah itu milik si Fulan, temanku, sesama pemanjat tebing dulu. Tidak, aku tidak mendapatkannya dengan memotong jarinya pada talenan sebab ia kalah taruhan. Aku bukan psikopat. Kami sedang memanjat di Citatah, barisan tebing gamping di tepi kota Bandung, ketika tiba-tiba sebongkah batu rumpal. Sekepala manusia besarnya. Aku sedang memanjat, sementara Fulan berada di kaki gawir. Ia sedang kena giliran tugas sebagai juru masak. Aku berani bertaruh batu itu gumpil sendiri dari sarangnya lima meter di atas kepalaku. Bukan aku yang menyebabkan. Aku menjerit anjing ketika ia melayang melampaui kepalaku. Segera kutahu bahwa kawan-kawanku di dekat tenda ada dalam bahaya. Batu itu telah bertambah kecepatan pula manakala tiba di tanah kelak.

Sedetik kemudian kudengar di bawah ada yang meraung jalang. Suaranya gaduh anjing dibunuh. Posisiku terhalang ganjur tebing untuk melihat apa yang terjadi. Kami berusaha secepat mungkin untuk turun, meluncur dengan kait delapan bergantian. Sampai di tanah kulihat Fulan telah dibaringkan pada tandu, yang sedang dinaikkan ke dalam Landrover kuning tua yang kudapat dari beberapa kali menang judi sabung ayam. Tak kulihat luka pada sekujur tubuhnya. Hanya kulihat kelingkingnya berdarah parah. Tepatnya, hanya kulihat seluruh bidang telapak tangannya berwarna merah, pekat mengilap.

Sebelum mobil menyala, kawanku yang lain terdengar menghardik kepadaku. “Yuda! Kau carikan potongan kelingkingnya sebelum gelap!”

Tentu akan kucari sampai mati, sebagai kesetiakawanan yang masih bisa kusumbangkan. Sebelum tikus hutan mencurinya. Aku menemukan ruas jari itu, terserak di tepi semak-semak, dekat kompor bensin yang terguling. Ia melenting tak jauh dari ceceran darah. Prioritas membuat teman-temanku tak melihatnya tadi. Kubuntal kelingking malang itu dengan bandana yang semula mengikat kepalaku. Segera aku menyusul ke rumah sakit dengan ojeg. Supirnya kuancam agar ngebut. Tancap gas, atau motormu kurebut. Tiba di sana, kulihat dokter sedang mengobras kelingking yang buntung. Aku terlambat. Dengan segala sesal dan prihatin aku meledak, “Stop dokter! Ini, saya temukan kelingking itu! Ayo sambung!”

Dalam kalut kubuka bungkusan dan kuacungkan ruas sepetilan lengkuas. Tapi semua mata memandang ke arahku dalam diam, kepadaku dan kepada jari yang kuajukan, bagai sepuluh menit lamanya. Aku merasa menjadi gerakan ganjil dalam film yang dibekukan. Lalu kulihat dokter itu menggelengkan kepala, pelan. “Percuma. Sudah putus. Tidak bisa disambung,” ujarnya dingin.

Ketika suasana telah tenang, kulihat di tatapan Fulan ada magma yang terarah padaku. Ia duduk di kursi tunggu ruang gawat darurat sekarang. Bibirnya mengatup tegang dan matanya menyorotkan api. Rambutnya ular berbisa. Apa salahku? Bukan aku yang meruntuhkan batu. Lagi pula, kalau bongkah itu rumpal karena aku, kami semua tahu bahwa kecelakaan yang diakibatnya tak bisa disalahkan pada siapapun. Itulah kebersamaan kami. Batu jatuh bisa terjadi setiap saat. Bagian dari risiko petualangan. “Yuda…” Ia menyebut namaku, tapi aku yakin kudengar bunyi desis di akhir ucapnya. Yudas. Engkau Yudas, si pengkhianat. Aku memegang stoples berisi kelingking yang telah tanpa pamrih kuperjuangkan sampai di sini. Suster berpantat montok itu telah mengemasnya buat kami. Tapi dokter itulah yang salah, bukan aku. Dia yang tak mau menyambungnya. Keras kepalaku membuat aku tak sudi minta maaf, bahkan sekadar untuk melembutkan hati kawanku.

Aku justru mengajukan taruhan. Taruhan sepertinya adalah satu-satunya bahasa yang kumengerti pada usiaku waktu itu. Umurku sembilan belas.

“Kelingkingmu pasti tumbuh lagi. Tidak sempurna, tapi tumbuh lagi. Percayalah. Taruhan…” kataku tanpa pikir panjang. Di usia itu seorang anak muda memang tak perlu pikir panjang. Seseorang tertawa karena aku memperlakukan jari seperti buntut cicak. Si Fulan belum bisa tersenyum. Katanya, “Boleh. Kalau tidak tumbuh, kau telan kelingkingku itu.”

Aku sebetulnya tersinggung. Ia sama sekali tak menghargai jerih payahku. “Oke,” tantangku tanpa kehilangan humor. “Tapi kalau tumbuh, kau telan kelingkingmu ini?” Teman kami yang lain menengahi. “Kalau tumbuh, kelingkingnya biar buat Yuda. Kalau tidak, buat Fulan. Siapa tahu bisa disambung lagi kalau sudah ada teknologi baru.”

Demikian saja. Semula tak ada satu pun yang percaya. Tapi setelah setahun berselang, kami melihat jari si Fulan telah bertunas lagi. Tidak sempurna betul memang, persis seperti yang kukatakan serampangan dulu. Ruas yang hilang itu telah digantikan oleh taju baru yang lebih kecil, dengan kuku yang lebih pendek dan tampak lebih lunak. Tapi jentik itu tumbuh kembali, seperti ekor cicak! Kami tak ingin ke dokter, sebab kami tak membutuhkan penjelasan. Jari bertaruk kembali, apa lagi yang perlu dijelaskan? Keterangan akan menghilangkan rasa mukjizat. Lebih menyenangkan bagi kami para pemanjat untuk menerima teori bahwa jari pemanjat tak banyak beda dari buntut cicak. Teori ini lebih memberi harapan. Begitulah, dengan sebuah upacara kecil di antara gerombolan pemanjat kami, si Fulan menyerahkan stoples kaca istimewa itu kepadaku sebagai tanda kekalahannya.

Aku mengenang upacara kecil itu dengan agak syahdu. Malam. Bintang waluku. Tebing menjulang sebagai bayangan gelap. Angin. Bau alam bercampur unggun yang meletik-retas. Kami duduk melingkari tonjolan batu di mana kecelakaan dulu terjadi. Di atas pembakaran, daging domba mulai matang. Bawang putih dimemarkan. Selusin Balihai dingin dalam kulboks dengan es batu yang mulai mencair. Beberapa botol kola, serta Mansions dan Drum. Semua yang termurah dan cepat membikin pusing. Si Fulan duduk dengan wajah kalah. Ia tahu tak benarlah sikapnya menyalahkan aku dulu. Ia tahu, jika aku berkeras dengan nilai taruhan awal, maka dia harus menelan acar kelingking formalinnya sekarang.

Tapi bukan itu yang terutama membuat aku biru. Dalam pidato kecilnya, si Fulan berkata bahwa ia harus mengurangi kegiatan memanjat karena dia akan segera menikah. Ini sekaligus akan menjadi pesta melepas masa lajangnya. Lalu si Fulan menyerahkan stoples selai itu kepadaku bagai sebuah wasiat. Anggota gerombolan yang lain bertepuk tangan. Seseorang menirukan suara tersedu sinetron sendu.

Aku merengkuh dan mencium kelingkingnya yang baru. Ada rasa sedih dan marah setiap kali seorang kawan pemanjat menikah. Aku tahu pernikahan berarti akhir petualangan panjat tebing. Mereka akan segera pensiun, untuk mencari nafkah dan memberikan kehidupan yang stabil bagi kaum pembujuk itu dan anak-anak tuyul yang akan mereka lahirkan. Lalu satria pun akan menjadi sudra.

“Aku sedih kau meninggalkan agama kami,” bisikku kepadanya. Sesungguhnya, ia bukan berpindah agama, melainkan turun kasta.

Ia mengelak dan berkata bahwa ia tak akan meninggalkan sepenuhnya pemanjatan. Aku tersenyum kering. Semua laki-laki membual, di malam lepas lajang, bahwa mereka takkan kehilangan kebebasan sampai kapan pun.

Si Fulan. Ia telah pensiun sekarang. Di usia dua puluh empat. Pemilik kelingking dalam botol selai yang kusimpan baik-baik itu. Kawanku yang berwajah bulat berambut wol, yang bagaimanapun telah pernah menjadi teman berbagi dalam hidupku.

Aku tetap dengan pilihan hidupku. Bahkan sampai hari ini, bertahun-tahun kemudian. Di sebelah botol acar kelingkingnya, pada rak yang sama dari almari di kamar kosku, tertatah juga tulang iga beralas beledru. Rusuk itu milik mendiang ayah temanku, dan salibnya, yang tersandar pada dinding, adalah batu nisannya. Kudapat dari taruhan yang lain, yang berawal dari debat mengenai mana lebih baik: kremasi atau penguburan. Kubilang pada Oscar, temanku anggota gerombolan juga, bahwa kuburan Blok P tempat ia akan memakamkan ayahnya pasti digusur dalam sepuluh tahun ini. Jika aku salah, pada tahun kesebelas aku akan tidur di sebelah kubur ayahnya selama empat puluh hari sinambung. Jika bolong satu, aku harus mengulang dari hitungan satu. Ia telanjur setuju sebelum aku mengajukan syaratku. Nah, sekarang syaratku. Jika aku benar, aku minta sepotong rusuk dan pasak nisannya ketika mereka membongkar remah-remah makam. Sepotong rusuk, siapa tahu menjelma perempuan cantik. (Oscar punya ibu yang masih berbentuk gitar di usia empat puluh lima.) Kuburan itu menjelma kantor walikota. Oscar memenuhi janjinya dengan tipu-daya terhadap keluarganya. Atau barangkali ia menipuku dan memberi tulang iga dari kuburan lain. Terserah. Demi rasa-rasa yang aneh, Oscar juga secara rutin mengunjungi tulang itu dan memberi penghormatan dengan caranya sendiri. Barangkali ia sendiri senang berada dekat relik leluhurnya. Barangkali ia menikmati tipuannya padaku. Terserah.

Almari kenang-kenangan taruhan. Ia memelihara kesendirianku dari hingar-bingar kota yang aku tak tahan. Pada saat-saat tertentu aku sungguh memandangi isinya dengan nikmat yang membuat hatiku tersenyum. Gelas selai berisi kelingking masam. Sebilah rusuk garing. Sekumpulan tetek-bengek. Botol berisi kentut yang tak pernah kubuka. Beha milik pacar temanku. Foto burung kami yang kami jepret ketika seorang teman perempuan menitipkan kamera analog. Rambutnya berjerangut. Kawan cewek yang sedang belajar fotografi itu baru sadar ketika ia mengambil hasil cetakan foto dari Fuji Image Plaza. Buku tua How to be a Sensuous Man. How to be a Perfect Gigolo. How to Read Books. How to Win Friends. Bagaimana Menjadi Kaya Dalam Sebulan. Bagaimana Menghipnotis Orang. Wayang Werkudara. Kepompong ulat kedondong. Sejilid ilustrasi porno dan kasar dari Eric Staton. Satu set koleksi komik Superman dari Amerika. Boneka Spiderman pelbagai ukuran. Firdaus Oil. Tongkat Madura. Minyak binatang biul untuk memperbesar payudara. Sebuah kutipan pada papan, tanpa nama: Kelak, ketika tua, kita tahu kita semakin sulit tertawa. Sebab, seperti pohon, semakin menjadi tua semakin mengeras diri manusia. Tentang hal yang menyedihkan itu boleh juga kita bertaruh.

Tapi, di tempat yang paling terhormat di almari itu, di tengah-tengah, di antara dua lilin persembahan, aku memiliki sebuah peti kecil. Kotak perhiasan terbuat dari kayu jati yang permukaannya secara rutin kugosok dan kurawat. Pada tanggal-tanggal tertentu kusulut lilin di kanan kirinya, kunyalakan ritualku. Di dalamnya terdapat sepotong batu sederhana. Batu endapan berwarna kelabu, nyaris segitiga bentuknya. Padanya ada sebuah jejak fosil. Berbentuk labirin cangkang siput sekepalan. Batu itu tampak seperti replika yang dijual sebagai suvenir museum geologi. Dan memang batu itu pantas menghuni sebuah pedestal terhormat di sebuah museum istimewa. Museum yang tak hanya memperlakukan koleksinya sebagai obyek ilmiah; melengkapinya dengan kartu berisi data-data mati. Melainkan yang juga menganggap benda-bendanya sebagai subyek, yaitu yang memiliki ruh pada dirinya. Ruh yang mewujudkan diri dalam rupa dongeng dan cerita. Di bawah batu endap itu terdadah secarik surat tua bertulis tangan dengan sepatah kalimat terakhir: apa yang tak selesai kau mengerti di sini, tak boleh kau tanyakan padaKu di luar.

Pada batu itulah kisahku ini mengkristal.

download dalam format pdf

Related Posts by Categories



  1. 0 komentar: Responses to “ Modernisme (Nukilan Bilangan Fu) ”

Post a Comment

Thanks for your comment. I will reply your comment as soon as possible. I wonder if you would keep contact with this blog.

Quote on Art and Literature

    "There is only one school of literature - that of talent."
~ Vladimir Nabokov (1899 - 1977)



Want to subscribe?

Subscribe in a reader Or, subscribe via email:
Enter your email here:

Top Blogs Top Arts blogs

Google