The Greatest Literary Works

literary works documentation. essay on literature. student paper. etc

Binhad Nurrohmat : "Sastra Indonesia tidak Sehat"

Written by eastern writer on Friday, May 02, 2008

Binhad Nurrohmat, si penyair kuda ranjang ini selalu punya argumen yang memikat ketika dia menjelaskan mengapa puisinya selalu berkeliling seputar tema tubuh. Baginya, tubuh adalah kultur, adalah konteks yang perlu diterjemahkan ke dalam teks. Ia juga memaknai tubuh lebih dari sekadar onggokan daging yang hanya mengikuti perintah pikiran dan perasaan. Melalui tubuh ia menemukan kejujuran, kebohongan, kemanusiaan, dunia, perempuan, bahkan...Tuhan. Kepada Jurnal Nasional ia menuturkan gagasannya tentang mengapa ia menekuni tubuh, pula bagaimana tanggapannya terhadap sastra Indonesia yang dikatakannya sedang tidak sehat.

Adakah perdebatan sastra Indonesia sekarang ini?

Ada. Tapi saya kira perdebatan akhir-akhir ini walaupun terselengara, gagal menukik pada gagasan. Tetapi lebih kepada kepentingan kelompok. Lebih kepada interest...

Menyangkut komunitas sastra?

Saya kira tidak juga. Secara pribadi saya cukup intens bergaul dengan komunitas di daerah. Tetapi yang jadi masalah saya kira bukan sastranya, tapi sastrawannya. Mental sastrawan itu kadang-kadang terlalu berlebihan memandang Jakarta. Padahal, kalau mereka diuntungkan dengan pihak-pihak yang ada di Jakarta, baik dengan lembaga maupun media, ya mereka senang aja. Tapi kalau sebaliknya akan muncul semacam ketidaksukaan, antipati dan lain sebagainya. Jadi problemnya itu sebetulnya mental sastrawan kok, jadi bukan gagasannya.

Mereka itu tidak pernah membicarakan karya dengan benar. Mereka hanya mengklaim bahwa karya ini tidak bagus, karya itu jelek dan sebagainya, tapi tidak memberikan sebuah kajian. contoh karya saya (Bau Betina, Red), saya ragu, mereka memberikan penilaian aneka macam itu sudah membaca karya saya. Saya yakin mereka nggak baca. Saya tidak masalah dikaji dengan hasil apa pun, asalkan itu kajian. Tapi kalau klaim, apa pun hasilnya, baik disebut baik atau buruk, mencaci atau memuji, saya gak mau terima kalau itu klaim. Omong kosong semua itu. Kalau kajian, baik hasilnya bagus maupun buruk, saya terima.

Saya memosisikan diri sebagai penyair yang mencoba menghargai tradisi. Maksud saya, puisi Indonesia itu sudah punya jejak yang sangat panjang. Cara saya menghargai tradisi adalah dengan cara mencoba meneruskan tradisi ini dengan cara mencari kemungkinan-kemungikan.

Dalam puisi-puisi Anda, tubuh menjadi pokok pembahasan. Kenapa Anda sebegitu terobsesinya dengan tubuh?

Kenapa saya memilih subyek tubuh dalam karya-karya saya? Karena saya kira hal itu dalam puisi Indonesia belum jadi perhatian yang serius. Kenapa saya pilih itu, karena secara personal saya punya problem dengan persoalan tubuh. Secara sosial itu juga jadi masalah. Dan ternyata dalam puisi Indonesia itu juga belum menjadi perhatian. Selama ini tubuh tak menjadi satu fokus yang digeluti secara lebih luas dan mendalam. Sementara tema lain seperti lingkungan, sosial, politik itu sudah ada. Tapi tubuh, katakanlah kalau orang bilang seksualitas, itu belum. Lagi pula puisi-puisi saya itu tidak hanya mengangkat persoalan tubuh dalam pengertian seks semata, bukan hanya biologis, tapi juga sosiologis bahkan juga teologis. Saya menggarap tiga hal ini: tubuh sosial, biologis dan teologis. Jadi dalam puisi saya, Kuda Ranjang, selalu ada tiga unsur itu, kalau saja orang mau jeli membaca. Bahkan ada yang bilang puisi saya itu religius, karena ada unsur pertentangan di sana. Khususnya
ketika menyikapi tubuh itu dengan rasa dosa, semisal ada kata maksiat di sana. Nah kata maksiat itu kan merujuk kepada konsep agama, religi.


Sepertinya Anda pembaca Michel Foucault atau jangan-jangan Anda pengikut Foucault?

Saya tidak suka mencari-cari konteks pemahaman saya terhadap kenyataan dengan basis filosofis, saya lebih cenderung pada empiris, setelah itu baru saya cari literatur, saya baca Foucault dan sebagainya. Saya kemudian mencari jawaban yang sifatnya personal dan subyektif, setelah itu saya mencari referensi-referensi, tapi saya yakin Foucault memang sudah menyelidiki soal tubuh, tetapi tubuh yang konteks ruang waktunya berbeda dengan sekarang. Jadi saya yakin bahwa seandainya kita serius mendalami persoalan tubuh, kita juga akan bisa menemukan soal baru tentang itu. Dan saya berani menempuh itu dengan segala konsekuensinya. Bagi saya tubuh adalah semesta. Di dalamnya kita bisa menemukan banyak hal. Kalau kita mau membaca jejak-jejak peradaban manusia bisa juga dilihat dari bagaimana tubuh itu hadir. Dengan tubuh itu bisa kelihatan semua.

Jadi bagaimana riwayatnya sehingga Anda bisa menekuni persoalan tubuh ini?

Tentu itu ada riwayatnya, kenapa sampai menganggap tubuh itu sebagai basis kultural saya. Saya punya sejarah yang sangat individual. Berawal ketika saya merasa tak punya kebudayaan kolektif. Tidak sebagaimana Rendra yang punya latar belakang kultural Jawa. Saya orang Jawa, tapi besar di Lampung, dan saya berasal dari keluarga santri yang tidak kenal kebudayaan dalam arti kesenian dan segala macam itu. Saya cemburu karena melihat penyair itu punya latar kultural, Sutardji punya Melayu, Rendra punya Jawa, terus saya bertanya sebenarnya inti budaya saya itu apa? Ternyata keintiman pada tubuh. Bayangkan, Rendra bicara tentang sesuatu hal dengan merujuk kepada mitologi Jawa, dari mitologi wayang misalnya. Sementara saya tidak, lantas saya sadar kalau saya intim dengan tubuh saya: mandi, makan, tidur juga dibawa.

Sesederhana itukah?

Ya, setelah sadar itu, saya menjadi peka dengan tubuh saya. Saya seperti orang primitif ketika baru sadar meraba, pada masa mengenal fase biologis. Saya juga kemudian sadar kalau tubuh juga secara sosial punya masalah, ditindas norma, kaidah dan segalanya. Misalnya kita keluar harus pakai baju tapi kalau di kamar mandi tidak merasa malu, tapi kenapa di luar rumah kita merasa rikuh. Ooo.. ini berarti ada masalah. Ternyata tubuh juga punya dimensi sosiologis, karena dengan tubuh ini kita bisa memaknai manusia dan juga Tuhan. Makanya dalam puisi saya judulnya Permohonan berbunyi “Tuhan beri saya perempuan, perempuan beri saya Tuhan”. Juga tubuh yang profan ini punya peran yang sakral. Jadi makna duniawi maupun makna di luar itu melalui tubuh. Karena tubuh itu lebih dulu menyerap kenyataan ketimbang pikiran. Kita tidur pun tubuh tidak tidur, tapi pikiran saja yang tidur. Tubuh tetap merekam kenyataan. Jadi tubuh itu lebih dulu memahami kenyataan tentang dunia daripada pikiran
manusia itu sendiri.

Pencarian Anda terhadap dunia ini jadi dimulai dari tubuh juga?

Betul, ini jalan spiritual saya untuk memahami dunia, bukan saja untuk memahami diri saya. Saya memahami dunia itu melalui tubuh, sebagaimana saya menyadari realitas ketuhanan dengan iman. Tubuh itu menjadi medium saya untuk mencapai keimanan. Tanpa tubuh saya takkan pernah jadi manusia, jadi arwah saja. Artinya tubuh itu punya peranan luar biasa dalam kehidupan manusia. Tapi malangya tubuh itu seringkali digunakan oleh manusia untuk tujuan-tujuannya sendiri dengan cara menindas: tidak boleh begini, begitu...tujuannya untuk memuliakan, tapi dengan cara yang menindas. Saya pernah menulis sebuah esei soal itu di Jawa Pos, judulnya Merengkuh Makna Tubuh. Dalam tulisan itu saya memberikan fakta sejarah tentang bagaimana tubuh diperlakukan dan tujuannya apa. Bahkan Nietzche juga bilang soal tubuh dalam “Kepada Kaum Pembenci Tubuh”.

Apa yang hendak Anda buktikan dengan proyek tubuh itu?

Tentu saja saya sadar, ketika saya memutuskan untuk mengungkap tentang tubuh, ada persoalan yang melingkupinya. Sehingga dengan demikian saya mencoba memberikan satu upaya, paling tidak kepada diri saya sendiri, tentang bagaimana sih tubuh itu sejauh yang saya bisa pahami? Tentu saja hal ini bisa menimbulkan masalah karena disalahpahami. Lantas karena saya menulis, jadi karya saya itu dipublikasikan. Saya berharap bisa melakukan semacam korespondensi. Sebenarnya tubuh itu bagaimana? Saya mencoba menawarkan bahwa menurut saya itu tubuh begini. Ternyata korespondesi itu berjalan walaupun sangat keras karena karya saya disalahpahami ketika tubuh diartikan hanya dari sudut pandang seks belaka, sudut pandang yang sangat biologis. Dari situ saya punya indikator kenapa puisi saya selalu dilekatkan dengan urusan biologis, ternyata itulah cermin masyarakat kita dalam memahami tubuh.

Dari sana pula saya mendapat feedback, oohh ternyata benar dugaan saya. Tubuh adalah kultur saya. Tubuh medium saya untuk berbicara. Saya merasa yang intim dalam hidup saya itu bukan wayang, bukan serat atau babad tapi tubuh. Apa boleh buat, saya menjalani itu. Saya menyadari sesuatu yang sebetulnya sudah lambat saya sadari. Seharusnya saya sudah sadari sejak awal. Tubuh itu dahsyat. Makanya di dalam filsafat banyak yang menyoal tubuh mulai dari Nietzche sampai dengan Foucault. Bahkan Nietzche bilang dalam tubuhmu ada yang sesuatu yang lebih arif daripada akal pikiranmu. Tubuh itu tak bisa berbohong, tapi pikiran bisa. Apa yang dilakukan tubuh seandainya hanya mengikuti suara hati itu, luar biasa dunia ini. Tapi kalau tubuh diperalat oleh pikiran, itu jadi lain lagi.

Tapi kan itu kenyataan, bahwa masyarakat kita belum bisa menerima soal-soal demikian? Jadi apa yang Anda inginkan?

Saya berharap masyarakat punya pemahaman yang lebih kaya. Barangkali puisi saya itu hanya kata kunci saja untuk memahami tubuh terserah mereka mau bagaimana. Paling tidak secara pribadi saya berusaha memperkaya wacana dalam dunia sastra Indonesia. Dalam kesusasteraan, karena produk kreatif, harus ada unsur kebaruan. Dalam masyarakat itu yang berlaku adalah kesepakatan. Di dalam masyarakat yang tidak ilmiah itu jadi makin sulit karena yang berlaku dogma, kaidah dan sebagainya.

Sastra kan identik dengan bahasa yang berbunga-bunga, kaya dengan metafor dan simbol, tidak eksplisit seperti pada puisi-puisi Anda?

Saya bisa menjelaskan soal metafor itu. Kalau dibaca dan ditafsir dengan benar apa yang saya tulis itu juga mengandung simbolisasi dan metafor. Namun demikian, walaupun saya dituduh menulis puisi yang tidak simbolik dan tidak metaforik itu bukan masalah besar bagi saya.

Sebagian pengamat, semisal Maman S Mahayana mengatakan, sebaiknya karya sastra itu tidak eksplisit, dengan kata lain tidak vulgar. Bagaimana menurut Anda?

Sekarang pertanyaannya apakah betul kalau sastra itu tidak boleh bicara secara langsung, secara eksplisit? Begini, dalam puisi Taufik Ismail itu apa ada yang menggunakan metafor? Jadi saya kira pandangan sastra harus metafor, harus simbolik, itu bukan satu-satunya kebenaran. Kita baca juga puisi Chairil Anwar, puisinya kan bisa kita pahami secara letterlijk maupun secara metafor, “aku kalau sampai waktuku” misalnya. Itu bisa dipahami secara letterlijk tapi juga bisa dipahami secara metaforik. Jadi kalau ada orang yang mengatakan puisi saya tidak metaforik, ah itu bukan masalah. So what gitu loh? Kenapa dengan itu semua? Tidak masalah. Apalagi kalau kita baca karya-karya asing, banyak yang eksplisit.

Kumpulan puisi Anda Bau Betina dianugerahi karya sastra terburuk “Kakus-Litiwa” oleh Wowok Hesti Prabowo cs. Apakah Anda merasa dihakimi dalam urusan ini?

Tidak. Saya kira persoalannya bukan terletak pada sastrawan menghakimi, tetapi lebih karena kondisi kesusasteraan Indonesia yang sedang tidak sehat. Karena tidak ada lembaga kritik yang berwibawa. Padahal salah satu cara untuk mengukur sebuah karya itu bagus atau tidak harus dengan kritik sastra. Tidak dengan klaim. Jadi dari sana kita bisa menilai kalau kesusasteraan kita sedang tidak sehat. Jadi ada penghakiman, penghujatan, hanyalah sebuah efek dari sebuah kondisi yang tidak sehat. Seandainya ada lembaga kritik yang dipercaya, berwibawa, maka tidak ada penghakiman. Sekarang tidak ada kritikus demikian. Mereka itu (penyelenggara Kakus-Litiwa Award, Red) juga menghubung-hubungkan sesuatu yang tak ada kaitannya. Tiba-tiba ngomongin sastra dengan dana asing, tidak ada itu! Lantas juga ngomong soal komunitas, apa itu, tak ada hubungannya? Lalu mereka juga ngomong soal standar estetika, lha yang bikin standar itu siapa? Saya kira itu karena efek karena tidak ada lembaga
kritik yang berwibawa. Bahkan tidak ada lembaga kritik, jangankan lembaga kritik yang berwibawa, lembaga kritiknya saja tidak ada. Itulah yang membuat tidak sehat. Munculah kemudian klaim, mengatakan sebuah karya bagus atau jelek berdasarkan komentar. Masalah ini sangat rawan, rawan terhadap apresiasi dan perkembangan sastra itu sendiri. Ini baru pertama kali terjadi dalam dunia kesusasteraan kita ada penghargaan sastra terburuk yang diberikan oleh sesama sastrawan. Dulu di Jerman pada zaman NAZI ada pemberian hadiah sastra bobrok, tapi itu kan kekuasaan yang memberikan, politik, bukan sesama sastrawan.

Tapi itu sah-sah saja dalam alam demokrasi, bukan?

Saya memahami demokrasi tidak seperti itu. Ini adalah produk dari dunia kesusasteraan yang tidak sehat. Terlalu bagus kalau dikaitkan dengan demokrasi. Bahkan untuk disejajarkan dengan dagelan pun terlalu bagus. Ini lebih kepada cermin dari sebuah keadaan yang tidak sehat.
Lantas Anda memandang ini sebagai gejala apa?

Saya kira ini semacam warning tentang sastra kita yang sakit. Saya lebih memahami ke sana. Kalau sudah terjadi seperti ini yang harus dilakukan adalah menghidupkan lembaga kritik supaya terhindar dari kondisi semacam sekarang. Sekarang ini sastra kita rapuh, ada goncangan sedikit saja sudah geger. Contoh, ada jurnal Boemipoetra (dikelola oleh penyair Tangerang Wowok Hesti Prabowo, Red) saja sudah bikin orang geger, itu bukti kalau kondisi sastra kita rapuh.

Anda kini dicerca, karya Anda oleh Wowok dibilang terburuk dan mengalahkan 10 karya terburuk lainnya? Apakah Anda masih melanjutkan proyek tubuh dalam puisi-puisi Anda?

Karya sastra tugasnya dituliskan. Mau ada yang menerbitkan atau tidak itu gak jadi soal. Pasti nanti akan ada yang baca. Coba saja itu babad tanah jawi, tidak diterbitkan, tapi sekarang kan dibaca. Dulu saya punya cita-cita seandainya puisi saya tidak dimuat, tidak diterbitkan, saya bisa saja menempel puisi-puisi saya di bis kota, di tembok-tembok kota. Karena saya kira yang terpenting adalah bagaimana menuliskannya. Beberapa puisi dulu dianggap jelek, kurang baik. Semisal milik Chairil Anwar yang dulu tak dipandang sama sekali. Tapi ada HB Jassin yang punya penilaian lain terhadap karya Chairil, tokh sekarang dibaca juga. Mungkin nanti, beberapa generasi yang akan datang, puisi saya juga akan dibaca. Saya menulis bukan untuk hari ini saja, tapi pada sebuah masa kemudian, untuk generasi mendatang.

Tapi kan sebagai sastrawan yang juga produk dari sebuah kebudayaan massal, Anda juga harus memahami pada masyarakat mana Anda berada?

Oh ini imajinasi. Kalau karya seni ditaruh ukurannya pada masyarakat semua itu tidak akan bunyi. Coba saja ambil lukisan Picasso ke tengah masyarakat, pasti muncul komentar lukisan apa ini? Lukisan sampah.

Jadi Anda memisahkan kesusastraan atau kesenian itu dari masyarakat?

Saya tidak terbelenggu pada pengertian seni untuk rakyat atau seni untuk seni. Ada seni yang bisa untuk seni sekaligus juga untuk masyarakat. Saya cair aja soal begitu. Ketika seseorang mengatakan seni untuk seni, itu berarti memagari dirinya sendiri. Atau seni untuk rakyat, itu juga memagari. Lantas apa ukurannya? Dulu ada pendapat seni tinggi, misalnya lagu Bethoven, tapi sekarang semua orang bisa menikmati Bethoven. Misalnya lagi dalam pengertian Pramoedya Ananta Toer seni untuk rakyat adalah seni yang menyuarakan penderitaan masyarakat. Lho, memangnya hanya rakyat kecil saja yang bisa menderita? Raja-raja juga bisa kan menderita? Bagi saya itu relatif. Bagi saya seni bisa menjadi untuk seni sendiri atau untuk rakyat. Yang menentukan itu mutu. Lantas siapa yang mengukur mutu, ya itu kritikus.

Sebagai penutup, kembali kepada soal eksplisitas dalam karya Anda. Bagaimana dengan puisi berjudul “Berak” pada kumpulan puisi Kuda Ranjang? Apakah itu tidak metaforis?

Ooo itu, “Anusmu yang bagus// saban pagi mengangkangi kakus// yang tak bosan menunggu tahimu//”. Itu orang kalo berpikir tekstual pasti bertanya apa artinya ini? Padahal itu metafor juga, tentang kesetiaan bagaimana kakus setia kepada anus. Jadi saya memetaforkan hal-hal yang dianggap sepele bahkan dianggap najis. Orang tidak menafsir, jadi yang timbul salah paham. Kalau menafsir pasti tidak akan berpikir macam-macam. Makanya saya cuma tertawa ketika orang ribut membaca puisi saya, karena saya sudah tahu mereka tidak melakukan penafsiran. Puisi saya itu soal kesetiaan, bayangkan kakus bekerja itu tanpa pamrih, selalu menunggu setiap pagi..ha...ha...ha...ha

Pewawancara: Bonnie Triyana
Dipublikasikan di rubrik Gelanggang, Jurnal Nasional, 16 Desember 2007

Related Posts by Categories



  1. 0 komentar: Responses to “ Binhad Nurrohmat : "Sastra Indonesia tidak Sehat" ”

Post a Comment

Thanks for your comment. I will reply your comment as soon as possible. I wonder if you would keep contact with this blog.

Quote on Art and Literature

    "There is only one school of literature - that of talent."
~ Vladimir Nabokov (1899 - 1977)



Want to subscribe?

Subscribe in a reader Or, subscribe via email:
Enter your email here:

Top Blogs Top Arts blogs

Google