Manneke Budiman Menanggapi Esai Ahmadun YH
Written by eastern writer on Sunday, March 30, 2008Editor note: This is a response from Manneke Budiman to "AAC Puncak Fiksi Islam", taken from mailing list Media Care.
Coba perhatikan baik-baik asesmen Ahmadun Yosi Herfanda terhadap novel AAC:
KEUNGGULAN:
Kekuatan pertama ya judulnya, seperti yang saya jelaskan tadi. Kedua, pada keteladanan tokoh Fahri. Menurut saya, ini merupakan puncak idealisasi fenomena fiksi islam. Saat itu kan lagi fiksi Islami berkembang sebagai sebuah fenomena. Kita belum menemukan puncaknya seperti apa. Kemudian muncullah Ayat-Ayat Cinta dengan mengangkat teladan tokoh yang menarik.
Teladan tokoh ini penting bagi pembaca muda maupun pembaca perempuan dan keluarga yang memang merindukan bacaan yang mencerahkan. Fahri ini mengandung keteladaan, bisa jadi teladan perjuangan, sikap keislaman. Dan itu ternyata pas untuk kebutuhan pembaca.
Kekuatan ketiga, romantismenya. Ini novel romantis yang Islami. Jarang kisah cinta segiempat didekati secara Islami. Di novel itu kan, pergaulan mereka sangat Islami.Ternyata masyarakat kita masih terpikat atau terpesona kisah yang romantis. Yang namanya novel romantis selalu laris. Misalnya novelnya Hamka.
KEKURANGAN
Kekurangan? Pendekatan sastra murni belum masuk ke sana. Nilai sastra agak kurang. Tapi sebagai novel pop yang Islami cukup kuat. Dalam pengkajian forum sastra yang akademis, novel ini dianggap novel pop saja, seperti karya La Rose dan Marga T, cuma Islami.
Sebagai novel pop yang romantis, tokohnya memang tidak beda jauh dengan dongeng, di mana yang dihadirkan tokoh impian. Ya laki-laki ideal menurut penulisnya ya seperti Fahri. Dalam realitasnya nggak ada. Namanya dongeng kan tidak membumi seperti cverita pangeran katak itu.
AMATAN SAYA: pada sisi KEUNGGULAN, Ahmadun bersifat ambigu sebab ia di satu pihak menganggap romantisme sebagai sebuah kekuatan, sambil di lain pihak mengaitkannya dengan rendahnya selera masyarakat pembaca Indonesia yang masih mudah terpikat oleh romantisme. Bahkan, romantisme ini lalu ia kategosikan sebagai kelemahan novel AAC pada sisi KEKURANGAN, karena menawarkan mimpi yang realitasnya tak ada.
Ahmadun lebih jauh bahkan menganggap karya ini tak punya nilai sastra yang tinggi, dan levelnya cuma sederajat sama deongeng, tidak membumi. Laki-laki seperti Fahri tak ada dalam dunia nyata.
PERTANYAANNYA: Bagaimana karya ini lalu dengan demikian cepat dan mudah dikatakan sebagai "Puncak Fiksi Islam"? Ini tampaknya seperti pujian, tapi sesungguhnya bisa dibaca pula sebagai pelecehan terhadap pencapaian fiksi Islami di Indonesia.
Masa Ahmadun tidak familiar dengan karya-karya Islami lain seperti buah tangan para penulis FLP (Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia) atau Abidah El-Khalieqy? Karya-karya mereka jauh lebih kompleks dan berbobot daripada AAC. Islam yang disiarkan dalam karya-karya itu juga lebih konsisten dan setia dengan Qur'an (jika kandungan Islam dijadikan titik tolak asesmen).
Selanjutnya, KOREKSI: Tidak benar jika dikatakan para penulis dari FLP memuji-muji AAC. Asma Nadia punya kritik yang tajam dan cukup valid terhadap AAC, khususnya dalam idealisasi Fahri yang berlebihan dan tak masuk akal. Dan Asma Nadia adalah seorang dedengkot FLP!
0 komentar: Responses to “ Manneke Budiman Menanggapi Esai Ahmadun YH ”