Brecht: Montase dan Marxisme
Written by eastern writer on Sunday, June 28, 2009BRECHT, dengan rambut cepak, muka masam, jas warna gelap yang tertutup tanpa dasi: ia ingin tampak sebagai bagian dari sebuah zaman yang lugas.
Seakan-akan awal abad ke-20 mengubah segalanya. Di sekelilingnya mesin, industri, massa, buruh: dunia yang monokromatik, yang tak lagi menyediakan tempat untuk baju dan laku yang berbunga-bunga, tetapi yakin akan datangnya pembebasan…
Bertolt Brecht tumbuh di suatu masa, di suatu tempat, yang mengelu-elukan mitos mesin dan pembebasan: sebuah sambutan bersemangat yang terutama terdengar dari kalangan seniman Sayap Kiri Jerman. Revolusi Oktober 1917 menang dan kaum Bolsyewik, di bawah Lenin, memulai program penyebaran tenaga listrik ke seantero Rusia, sebagai bagian integral dari agenda sosialisme.
Awal abad ke-20 adalah sebuah masa perubahan dan impian yang utuh, sebagaimana awal abad ke-21 masa perubahan ketika keutuhan adalah mimpi. Awal abad ke-20 mengidamkan sosialisme, dan tak hanya itu: sosialisme identik dengan masa depan, dan masa depan identik dengan sesuatu yang gemilang.
***
AVANT-garde lahir ketika seni hendak mempercepat waktu. Dalam modernisme di Jerman pada tahun 1920-an itu berarti memeriahkan “mesin” ke dalam “seni”. Dalam pameran Dada di Berlin Juni 1920, ada sebuah potret Grosz dan John Heartfield, keduanya pelukis Sayap Kiri, sedang membawa sebuah poster yang bertuliskan: “Seni rupa sudah mati. Hidup Seni Mesin yang baru…” Mereka memujikan karya Konstruktivisme Rusia yang dengan berani dan orisinal menggunakan bahan industri seperti logam, kawat, kaca, dan kayu.
Pada akhir tahun 1920-an itu pula Walter Benjamin menyiapkan proyeknya yang besar, Passagen-Werk, (yang terbit setelah ia mati), dalam bentuk himpunan sejumlah besar file, kutipan dan catatan, tentang atau tidak tentang Kota Paris yang berubah sejak abad ke-19: teknologi dan komoditas, lingkungan yang mempesona dan sekaligus mengancam. Benjamin tak pernah percaya bahwa “kemajuan” adalah sesuatu yang membawa manusia ke sesuatu yang tenteram (kita ingat malaikat sejarahnya melihat “kemajuan” sebagai unggunan puing), tetapi toh ia tetap menyukai fragmen-fragmen utopia. Baginya komunisme menjanjikan sebuah industrialisasi yang bisa membuat seni bertaut dengan mesin, fantasi dengan fungsi, simbol dengan alat.
Bahkan sebelum hari itu datang, Benjamin sudah melihat bagaimana teknologi yang melahirkan film-yang memukau orang banyak itu-telah memungkinkan penonton menelaah kehidupan dari “posisi seorang pakar”. Tentu saja ia keliru. Tetapi pesona film tetap-bahkan membuka kemungkinan baru pada teater, seperti ditunjukkan dalam panggung Piscator, sutradara Sayap Kiri yang meninggalkan pengaruhnya pada teater Brecht.
Dari situlah agaknya kita bisa berbicara tentang hubungan antara Brecht dengan film. Dari itu tampak sebuah segi lain. Kesenian dan “realitas” pada akhirnya adalah soal mengetahui dan membentuk. Dengan kata lain, seperti tampak di masa Brecht, soal kebebasan dan kekuasaan.
***
SALAH satu catatan Brecht tentang film menyebut apa yang mengagumkannya: dalam film, tulis Brecht, “peristiwa yang berlangsung serentak di tempat yang berbeda-beda dapat dilihat bersama”.
Bahwa justru kelebihan itulah yang ia kemukakan-padahal kelebihan medium film bukanlah keserentakannya, melainkan kontinuitas pergantian bagian-bagiannya, dari mana lahir ilusi tentang gerak-menunjukkan kecenderungan kuat dalam karya Brecht sendiri: lakonnya menghadirkan “realitas” sebagai sesuatu yang tak utuh.
Dalam pengantar katalogus pertunjukan yang ditulis Wolfgang Gersch kita baca bahwa Brecht, yang kurang tertarik kepada perkembangan adegan yang mengalir lancar, “mementingkan patahan-patahan yang tampak dalam bahan yang ia pergunakan buat filmnya”. Di tahun 1931, dalam memfilmkan pementasan Mann ist Mann, Brecht menggunakan kamera dengan “interupsi”. Juga ketika teman sekerjanya, Ruth Berlau, memfilmkan pertunjukan Das Leben des Galilei (versi Inggris: Galileo) di Hollywood di tahun 1947. “Alir gambar-gambar dalam film ini dihancurkan…”
Diskontinuitas. Film-film itu mungkin tak enak diikuti, tetapi sandiwara Brecht jadi berarti ketika ia merupakan montase dari aneka anasir yang tak berkesinambungan. Orang yang menonton Die Dreigroschenoper (”Opera Tiga Gobang”) yang dipentaskan oleh Berliner Ensemble bisa bercerita tentang huruf-huruf yang disorotkan ke layar, pipa orgel yang terbuka, kawat, pelakat, karikatur. Musik gubahan Kurt Weill menghadirkan satire dengan menyajikan melodi yang liris dan penuh nostalgia, justru ketika membawakan puisi Brecht yang tajam, menggerus, menggosok. Yang manis dalam nada diredam oleh suara serak kasar penyanyi, dan suara itu diiringi oleh orkestrasi mirip jazz dengan deram perkusi yang sember.
Dalam karya Brecht, kontradiksi, konflik dan ketidakcocokan menghidupkan kata dan laku, dan “realitas” (atau “peristiwa”) memang hampir tak pernah tampil di satu arena yang datar dan kontinu. Pada Brecht montase itu adalah ekspresi, dan itu tidak sekadar bentuk atau “bentuk” dan “isi” telah menjadi dikotomi yang runtuh. Montase adalah tata yang tumbang dan tak selesai dalam ruang modernitas.
Yang menarik ialah bahwa Brecht juga seorang Marxis.
***
IA tak pernah jadi anggota Partai Komunis, tetapi sampai meninggal ia tetap tinggal di wilayah timur yang waktu itu masih disebut Repulik Demokrasi Jerman.
Seperti tampak dalam film dokumenter atas pementasan Katzgraben, sebuah lakon yang memamerkan “reorganisasi sosialistis” di pedesaan, Brecht bisa patuh kepada instruksi Partai untuk kerja propaganda. Tetapi, Urfaust, drama yang pementasannya di tahun 1953 direkam dalam film Hans Juergen Syberberg, menimbulkan problem. Sebuah catatan dalam katalogus menyebutkan kecaman Partai kepada Urfaust, juga Brecht sendiri, karena “fatalisme dan pesimisme”-nya.
Di sisi mana Brecht yang sebenarnya? Mungkin yang bisa dikatakan hanya ini: Brecht meletakkan diri sebagai pekerja, di sisi “produksi”.
Di dalam kesenian, hubungan “produksi” dengan teori adalah sebuah pertunangan yang tak setia.
Tak mengherankan jika dengan cepat Brecht berbenturan dengan “realisme sosialis” yang dikibarkan Georg Lukacs dan perdebatan yang tercatat kemudian menjadi salah satu bagian penting dari sejarah pemikiran tentang seni dan revolusi.
***
BULAN Juli 1938: Walter Benjamin bertemu Brecht di Denmark. Dalam buku kecil Benjamin tentang Brecht kita bisa membaca percakapan antara mereka: di hari itu ada berita yang tak mengenakkan: terbitnya karya Georg Lukacs di Uni Soviet.
Brecht tak pernah menyukai kritikus: “Mereka ingin memainkan peran petugas, dan mengontrol orang lain. Setiap kritik mereka mengandung ancaman.” Ia sedang berbicara tentang Lukacs.
Lukacs memilih komunisme sejak tahun 1918-mekipun dengan mendadak-dan ia pernah jadi seorang menteri di pemerintahan Soviet Hungaria sampai kekuasaan itu jatuh tahun 1919. Hitler mengancam seluruh Eropa dan Lukacs pun berangkat ke Moskwa, tinggal di sana sampai tahun 1945, bekerja di Lembaga Filsafat dari Akademi Ilmu Pengetahuan Soviet. Ia seorang yang bersedia mencabut kembali buah pikirannya jika Partai menganggapnya salah, seperti yang terjadi di tahun 1924 pada karyanya yang monumental Gesischte und Klassenbewusstsein (”Sejarah dan Kesadaran Kelas”).
Tahun 1934 ia menyerang Ekspresionisme. Gerakan kesenian ini sebenarnya telah lewat, tiga dekade setelah ia muncul tahun 1906. Tetapi, ia merupakan pembuka pintu bagi modernisme di Jerman, dengan segala hiruk-pikuknya. Ketika tahun 1937 Lukacs kembali memulai apa yang kemudian terkenal sebagai “Debat Ekspresionisme”, pokok soal bukanlah Ekspresionisme itu sendiri, melainkan bagaimana pemikiran dan politik Marxis menghadapi sebuah kehidupan kesenian yang, (setidaknya dalam klasifikasi Lukacs), “irrasional”, menampik kontinuitas secara radikal, patah arang dari semangat pencerahan.
Debat itu, terutama yang berlangsung antara Lukacs dan Ernst Bloch (yang membela Ekspresionisme, dengan tangguh), memang tak bisa dilepaskan dari perubahan politik dalam gerakan komunisme dunia di tahun-tahun menghadapi Naziisme. Tetapi ekornya cukup panjang dalam sejarah. Bahkan juga sampai ke pemikiran dewasa ini, ketika semangat pencerahan itu sendiri dipersoalkan.
***
POLEMIK Lukacs bukan sekadar perbenturan ide. Dalam tradisi Marxis-Leninis, soal teori adalah soal konsolidasi: ada yang harus dibabat dan ada yang tidak. Dari catatan Benjamin di bulan Juli 1938 itu terasa ada rasa waswas Brecht. Di Moskwa, menjelang akhir tahun 1930-an, Stalin sedang membersihkan “musuh-musuh Partai”. Mungkin sekali dalam konteks itu Benjamin menyebut, bahwa terbitnya karya Lukacs “memberi kesulitan yang cukup besar bagi Brecht”.
Memang dua posisi yang berbeda: Lukacs, ahli teori yang duduk di Moskwa; Brecht, seorang seniman yang bahkan belum jadi angota Partai. Dalam sebuah studi yang cukup lengkap tentang perdebatan dalam pemikiran Marxis mengenai kesenian di awal abad ke-20, Marxism and Modernism, Eugene Lunn menyebut: sejak di tahun 1932 Lukacs mengecam Lehrst_ck, atau “lakon-lakon didaktis” Brecht yang berbentuk kantata di atas panggung yang sederhana, yang diciptakannya bersama musik Kurt Weil (dengan sedikit pengaruh teater Jepang Noh).
Bagi Lukacs, eksperimen ini dianggap gagal menyediakan basis bagi sebuah “realisme sosialis” yang sejati. Brecht tertarik kepada pementasan karya satire oleh grup ‘Blauer Vogel’, yang alurnya tak menunjukkan garis lempang, dan yang di atas panggung adalah sketsa-sketsa yang tak bertautan. Tetapi bagi Lukacs, teater Brecht tak menciptakan karakter yang representatif, dalam konflik psikologis dan dalam hubungannya dengan dinamika sosial yang lebih luas…
***
DI tahun 1938 Brecht menulis sejumlah esai. Ia minta pertimbangan Benjamin apakah perlu segera diterbitkan atau tidak. Benjamin, yang sadar kuatnya posisi Lukacs di Moskwa, tak bisa menyarankan apa-apa. Ia hanya bertanya apakah Brecht punya teman di Moskwa untuk dimintai pendapat. Jawab Brecht: “Sesungguhnya tidak… Juga orang Moskwa sendiri-seperti halnya mereka yang mati”.
Esai-esai itu akhirnya tak pernah diterbitkan selama ia hidup, dan baru dipublikasikan di tahun 1967. Dari sini kita dapat melihat penegasan Brecht bagaimana sesungguhnya kesenian diciptakan, atau, dalam istilah Brecht, di-”produksi”, dan bagaimana hubungannya dengan “realitas” dalam proses itu.
***
SIAPA yang di luar proses produksi akan melihat khaos sebagai sebuah kenyataan yang asing. Dalam argumennya ketika ia menyerang Ekspresionisme dan lain-lain, Lukacs hanya menggunakan bentuk novel dari abad ke-19 (karya Balzac, misalnya), sebagai bahan pembahasan tentang “realisme” yang dipujikannya. Lukacs tak menyentuh puisi dan tak pula teater. “Bagaimana dengan realisme dalam puisi liris atau dalam drama?” Itu pertanyaan Brecht.
Tiap tesis memberikan jawab. Tetapi kelemahan Lukacs, saya kira, bermula dari kecenderungannya untuk menjadi pengecam yang konstan dunia modern. Ia memandang seni sebagai bagian dari usaha meneguhkan kembali apa yang hilang di dunia modern itu: hidup sebagai suatu totalitas.
Untuk itu, novel adalah ekspresi yang paling cocok. Novel adalah sebuah ikhtiar, dalam keasyikan dan sia-sia, untuk mengembalikan hidup sebagai totalitas, di mana tiap bagian berkait dengan bagian lain. Dalam ketegangan itu, antara tujuan dan kegagalan, novel hidup sebagai (atau di dalam) narasi
.
Tetapi, bagi Lukacs, narasi ini adalah sebuah narasi dengan kiblat. “Tanpa abstraksi tak ada seni,” tulisnya pada tahun 1938, “seperti setiap gerak, abstraksi mesti mempunyai suatu arah, dan pada arah inilah segalanya tergantung.” Sebagaimana Lukacs melihat sejarah sebagai suatu kesatuan yang koheren dan mengandung makna, ia melihat seni bukan sebagai sesuatu yang terjadi, dengan segala aksidennya, dalam proses laku.
Di situlah Lukacs keliru. Justru dalam laku itu, narasi adalah proses di mana kebebasan dirayakan, tanpa menyadari atau tanpa dibebani kehadiran sebuah kiblat, atau kehadiran apa pun. Argumen Lukacs tak mengemukakan soal kebebasan ini, tetapi ini tak ada hubungannya dengan Marxisme.
Dalam tulisannya tahun 1910, ketika ia masih mencemooh sosialisme, ia telah tampil sebagai orang yang mengecam apa yang disebutnya “kebudayaan estetik” dunia modern. Dalam kebudayaan itu, kata Lukacs, karya-karya seni menempatkan “suasana hati” demikian penting, hingga yang disambut bukanlah yang permanen, melainkan perubahan terus-menerus. Tak diperlukan karya yang monumental, tragedi, filsafat, apa pun yang bersifat benar-benar epik. Yang penting “hanya teknik yang dilap mengkilat, psikologi yang dibuat rumit dengan cerdik, ungkapan yang pintar jenaka dan suasana hati yang seperti kabut pagi.”
Dengan argumen yang mirip, seperempat abad sebelum ia menyerang Ekspresionisme, Lukacs menyerang Impresionisme. Di tahun 1909 itu ia menyatakan telah memilih seni yang lain: seni yang mengekpresikan “tertib”, seni yang akan “menghancurkan semua anarki sensasi dan suasana hati”. Di tahun 1930-an ia tampak seperti seorang neo-klasik dengan topi kusam seorang komisar.
***
SASTRA adalah seni yang tertib apabila ia tahu dari mana dan ke mana ia bergerak. Tetapi bisakah? Lukacs hanya berpedoman kepada sejumlah novel yang padu, linear, dan mengalir kontinu: karya Balzac pada abad ke-19 dan karya Thomas Mann pada abad ke-20 (keduanya tak ada hubungan batin apa pun dengan sosialisme). Hanya dengan menirukan totalitas, ujar Lukacs, realisme dicapai. Totalitas akhirnya juga sesuatu yang normatif.
Akan tetapi, dari manakah datangnya totalitas? Tak mungkinkah totalitas itu hasil sebuah konstruksi dari sebuah kesimpulan, yang dipasang untuk menjelaskan dunia? Tak mungkinkah totalitas itu terbangun dari pandangan sebuah “meta-subyek” yang merangkum dunia?
Lukacs menganggap bahwa “meta-subyek” itu adalah proletariat. Tetapi totalitas juga berarti pandangan yang menyingkirkan apa yang berbeda, apa saja yang tak sesuai dengan totalitas itu sendiri. Setidaknya bagi seorang Marxis seperti Adorno, “umat manusia yang dibebaskan tidak akan berupa sebuah totalitas”
.
Lukacs membela diri di depan Bloch: Ekspresionisme, yang mencerminkan retak-pecahnya masyarakat burjuis, telah gagal untuk melihat apa yang dilihat Marx, bahwa “hubungan produksi setiap masyarakat membentuk satu keseluruhan”.
Tetapi adakah “keseluruhan” itu sesuatu yang disadari melalui pemikiran kemudian, atau sesuatu yang langsung ada dalam setiap momen estetik?
***
SEANDAINYA Lukacs pernah masuk ke dalam sebuah puisi liris yang seakan-akan selalu belum selesai, katakanlah haiku, ia akan tahu satu hal: dalam proses penciptaan puisi seperti itu, masa-silam, masa-kini dan masa-depan tak hadir sebagai sesuatu yang koheren. Setidaknya koherensi itu tak mengarahkannya seperti sebuah diktat. Ketika Picasso mengerjakan sebuah gambar, pra-desain yang utuh-padu tak menentukan. Malah tak ada…
Brecht berbeda dengan Lukacs, karena ia menjalani proses kreatif sehari-hari. Lewat Walter Benjamin ia nyatakan kecamannya kepada para teoretikus seperti Lukacs:
“Mereka itu… musuh produksi. Produksi membuat mereka tak bisa nyaman. Kita tak tahu di mana kita dengan produksi itu; produksi itu tak bisa diketahui sebelumnya. Kita tak pernah tahu apa yang akan muncul.”
Karya-karya Modernisme memberi tempat justru kepada sebuah proses yang “tak bisa diketahui sebelumnya”. Proses itu bukan cuma proses kreasi, tetapi juga proses re-kreasi, dalam pertemuan dengan si pembaca. Novel Ulysses James Joyce menampilkan kata dan kalimat yang mengalir antara sadar dan tak sadar, tak tahu alurnya. Lukisan Kandinsky terwujud dari sebuah laku yang tanpa dibatasi titik tertentu. Tokoh Brecht bukanlah sebuah sosok yang selesai. Bagi Brecht, sebuah ego yang stabil hanyalah sebuah pengertian idealisme Jerman.
“Ego yang kontinu adalah sebuah dongeng,” kata Brecht dalam percakapan dengan Bernard Guillemin di tahun 1926.
Brecht berbicara seperti seorang Marxis: manusia, prestasi, kejatuhan dan corak dirinya adalah sesuatu yang berubah, oleh produksi bersama (yang dalam kesenian berarti antara seorang pencipta dan penikmatnya). Mungkin dari sini pula-juga dari praktik teaternya-panggung Brecht bisa disebut sebagai “panggung materialis”, dan itulah memang yang dikatakan Althusser tentang lakon-lakon Berliner Ensemble.
***
PRODUKSI adalah proses kejadian yang sering dikaburkan oleh dongeng. Kata “produksi” dipilih Brecht, mungkin untuk melenyapkan apa yang kedengaran agung-bagian dari mitos-penciptaan seni.
Brecht menulis tentang Balzac: “Balzac adalah penyair tentang ukuran-ukuran raksasa yang mengerikan… Tidak, Balzac tidak bermain-main dengan montase. Ia menulis tentang asal-usul yang luas, ia mengawinkan makhluk-makhluk dari fantasinya sebagaimana Napoleon mengawinkan para marsekalnya…”
Ketika apa yang tampaknya ajaib copot dari proses kreasi, bentuk akan tampak telanjang-misalnya sebagai hasil penguasaan. Sebenarnya itulah yang terkesan dari estetika Lukacs. Yang ditulisnya di tahun 1910 tetap bergema sampai di tahun 1930-an:
“Hakikat seni adalah merumuskan hal-ihwal, mengatasi resistansi, membawa kekuatan-kekuatan yang tak bersahabat ke dalam kendali, membentuk kesatuan dari apa yang berbeda dan bertentangan.”
Anehkah bila akhirnya bukan Brecht, melainkan Lukacs, yang merasuk ke dalam ajaran kesenian di bawah Stalin? Lukacs konon pernah mengritik “realisme sosialis” yang dikampanyekan di masa itu. Tetapi, benarkah tak ada benang merah yang menghubungkan “realisme sosialis”-nya dengan doktrin kesenian dari Kremlin itu?
Garis kebudayaan Stalinis, seperti dalam dalil Lukacs, menciptakan tauladan dari penulis abad ke-19 macam Balzac, Tolstoy dan Goethe (dan kemudian Gorky). Sementara gerakan Konstrukvis, misalnya, punah-juga segala bentuk ekspresi yang tak terkendali. Tuduhan “dekaden” terhadap ekspresi kesenian modern diulang-dengan kata yang dipergunakan Lukacs bagi apa saja yang mengutarakan hidup yang tak lagi “menetap dalam totalitas”. Di akhir 1930-an. Andrei Zhdanov, pejabat Stalin itu, juga, seperti Lukacs, berbicara tentang “dekadensi dan disintegrasi sastra borjuis”. Di saat itu, “realisme sosialis” berkembang dari sikap menjadi norma, dan norma menjadi ortodoksi.
Tampak bahwa dalam pandangan Lukacs dan Zhdanov soal utama adalah penguasaan atas realitas, “membawa kekuatan-kekuatan yang tak bersahabat ke dalam kendali, membentuk kesatuan dari apa yang berbeda dan bertentangan”. Maka tak ada yang liar, berbeda tak henti-hentinya, tak ada yang tak terduga. Seni adalah cerminan “realitas” yang sudah ditertibkan, untuk sebuah arah yang stabil, seperti seni rupa “fotografisme” ala Brodsky, yang melukis Lenin sepersis kerja kamera.
Kita tahu bahwa di sana ada disiplin. Zhdanov bukan hanya membawa statemen dan rumus, tetapi juga seruan merapatkan barisan, dan akhirnya pembungkaman di pelbagai gulag. Terutama dalam suasana pertentangan politik (dan pertentangan politik terjadi sampai kapitalisme hancur) ketika militansi dipacu.
Tak aneh bila yang ditekankan ialah ucapan Maxim Gorky, sebagaimana dikutip (dalam bahasa Inggris) oleh Pramudya Ananta Toer dalam prasarannya tentang “realisme sosialis” di tahun 1963:
“Bila musuh tak menyerah, ia harus dihancurkan.”
Dan bagaimana Brecht? Ia selamat. Mungkin karena ia licin, atau karena ia seperti tokoh utamanya dalam Der Gutte Mensch von Sezuan (”Orang Baik dari Sezuan”): seorang yang terkadang menjadi Shen Te dan terkadang menjadi Shui Ta, sebuah kontradiksi yang tak pernah selesai dalam satu sosok.
Bukan, bukan sebuah ego yang kontinu. Sebab itulah ia betah dengan pentas yang tak lurus, menyukai teknik montase pelbagai anasir, yang semuanya merupakan ekspresi Marxisme-nya yang unik: dialektika justru dalam bentuk, proses perubahan dalam bentuk.
------------
Naskah ceramah oleh Goenawan Mohamad dalam pementasan “100 Tahun Bertolt Brecht” di Teater Utan Kayu pada Maret 2000. Diterbitkan dalam rubrik Bentara di harian Kompas, 7 April 2000.
0 komentar: Responses to “ Brecht: Montase dan Marxisme ”