Perlunya Kajian Khusus Sastra Terjemahan
Written by eastern writer on Monday, April 14, 2008Usulan menarik disampaikan oleh Siswo Harsono dalam diskusi bedah buku "Edgar Allan Poe dan Sepilihan Karyanya" (8/1). Menurutnya, dewasa ini banyak sekali buku-buku sastra hasil terjemahan yang bisa dengan mudah ditemukan di rak-rak toko buku, namun hingga kini belum ada satu kajian khusus terhadap karya-karya sastra hasil terjemahan itu.
Kajian secara khusus ini perlu, mengingat banyaknya karya-karya terjemahan, namun hingga kini belum ada perhatian secara khusus dari pihak akademisi atau kritikus.
"Masalahnya, kita akan meletakkan buku ini di rak mana. Di jurusan Sastra Inggris Undip tak ada satu kajian tentang sastra terjemahan. Seharusnya ini diperlukan. Bisa dibuka untuk Jurusan Sastra Inggris maupun Sastra Indonesia".
Ketika sebuah karya diterjemahkan, sebenarnya pada saat itu pula hasil terjemahan sudah menjadi produk baru. Dalam hal ini menerjemahan sama halnya mencipta ulang. Ia sudah terkontaminasi oleh subyektivitas, selera dan kepentingan-kepentingan penerjemah.
Menerjemahkan karya sastra seperti halnya menerjemahkan bidang-bidang lain, tak hanya memindahkan bahasa sumber ke bahasa target. Namun lebih jauh dari itu, penerjemah harus mampu memindahkan atau yang paling mungkin mencarikan padanannya dalam kebudayaan pengguna bahasa target sehingga pembaca karya terjemahan bisa merasakan kehadiran bahasa dan situasi cerita secara lebih dekat.
Dalam kasus penerjemahan karya sastra, akan banyak dijumpai istilah-istilah yang sulit bahkan tak bisa dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Misal, akan kita sebut apa "Burung Hering" yang terdapat dalam salah satu cerpen EdgarAllan Poe, dalam kamus perburungan yang dikenal oleh orang Indonesia.
"Apakah kita bisa menyebutnya dengan burung gagak?" tanya Siswo
Selain itu, Siswo juga mengritik beberapa bagian yang hilang yang membuat kesatuan dalam buku itu menjadi rusak. Mula-mula ia memberikan catatan pada cover, apakah lukisan karikatur di sampul itu berdifat ikonis atau indeksikal. Bagian yang hilang yakni adalah alusi nietchzean yang seharusnya dipertahankan. Ini akan mampu menjelaskan bagaimana Poe bisa keluar dari penderitaan.
Mengenai penerjemahan dalam buku ini, Aulia memberikan masukan agar penerjemah berani menerjemahkan teks dengan tidak terikat dari teks asal. Menerjemah tidak cukup memindahkan kata atau mencari padanan. Tapi lebih jauh dari itu, bagaimana bisa memindahkan impresi-impresi saat membaca karya tersebut ke dalam hasil terjemahan.
Menanggapi kritikan-kritikan dari para pembicara, Tia Setiadi justru merasa berterima kasih kepada kedua pembicara yang menurutnya sangat kritis. "Dari dua kali diskusi buku yang diadakan di Yogya dan Solo, baru kali ini saya mendapatkan kritikan yang pedas. Ini forum yang paling cerdas," katanya.
Namun demikian, baginya dalam penerjemahan tetap akan ada yang hilang dan semuanya tak bisa seperti asalnya. Dan ia mengatakan, penulisan biografi dari sumber terjemahan belum banyak dilakukan di Indonesia bahkan dia berani mengklaimnya sebagai penulis yang pertema melakukannya.
Ia mengakui menyusun buku ini sebagai upaya untuk membuat dokumentasi proses kreatif para penulis yang menurutnya tradisi ini di Indonesia masih sangat kurang.
Sebelum buku "Edgar Allan Poe dan Sepilihan Karyanya" ini, dia sudah menerjemahkan buku pelukis Van Gogh yang hidupnya juga amat dramatis. Setelah buku yang kedua ini dia merencanakan akan membuat seri yang sama, yakni biografi penyair Amerika Walt Whitman.
Apa yang dilakukan oleh Tia Setiadi ini adalah usaha yang patut diapresiasi. Buku ini memberikan kontribusi yang amat berharga untuk khasanah sastra di negeri ini. Apa yang dilakukannya sangat berbalik arah dengan mereka yang menggarap buku yang dipastikan akan banyak pembacanya karena mengangkat topik-topik populer. Sementara buku ini kecil kemungkinan untuk mendapatkan pembaca dari kalangan luas. Tak salah memang jika Tia menulisnya karena kecintaan.
0 komentar: Responses to “ Perlunya Kajian Khusus Sastra Terjemahan ”